Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau
ini merupakan pulau berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah
satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60%
penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian
barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Jawa dahulu
merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam,
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Pulau ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial,
politik, dan ekonomi Indonesia.
Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik,
merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di
Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang
terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama
di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa
Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian
besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah
bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun
kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat
beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau
ini.
Pulau ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah
khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah
kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa
Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di
Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak
berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa
Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).Bahasa
Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut
Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah
Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek
yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok
(rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan
Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah
(Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian
Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa
Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan
(ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang
berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan
Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan
bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek
Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a’
tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi jika di Solo orang makan ‘sego’
(nasi), di wilayah Banyumasan orang makan ‘sega’. Selain itu, kata-kata
yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek
lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan
suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal
dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
dialek Cirebonan berkaitan erat dengan kultur Jawa-Pantura, yaitu
Cirebon, Indrmayu sampai dengan Serang; oleh karenanya bahasa yang
mereka gunakan pun memiliki ciri khas dengan icon jawa-pantura.Kosa-kata
bahasa jawa-pantura boleh jadi “ada yang sama” dengan bahasa
banyumasan; hal itu boleh jadi disebabkan oleh fungsi bahasa komunikasi
(jawa, kawi, sanskerta) yang bersifat universal. Akan tetapi
sesungguhnya dialek jawa-pantura tetap mempunyai ciri khas yang tidak
dapat disamakan dengan dialek banyumasan. Dengan demikian, kita juga
sulit mengatakan bahwa wong Cirebon, Indramayu, Serang disebut
ngapak-ngapak. Tidak pula untuk dialek Tegal.
Ngapak, tetap lebih pas dialamatkan kepada (khusus) dialek banyumasan.
Namun demikian dalam menyikapi siapa yang berbahasa Ngapak, kita tidak
bisa membandingkan-lurus dengan area administratif-geografis. Misalnya,
tidak seluruh kawasan Kab. Cilacap disebut Ngapak. Cilacap Barat,
seperti di beberapa desa di Kecamatan Karang Pucung, Cimanggu, Wanareja,
dan Majenang, malah sudah agak “bengkok” ke dialek “kulonan” atau —
pinjam istilah dalam seni karawitan, disebut dialek “jaipongan.”
Saya berharap istilah Ngapak tidak dipolitisasi untuk “lawan-kata”
dialek “wetanan” (Yogya-Sala) atau dialek “bandhek.” Diskusi ini tentu
akan menjadi sangat panjang, apabila para pihak tidak saling menerima
keadaan.
Di antara permasalahan yang sering mencuat, adalah bahwa bahasa jawa
berasal dari bahasa jawa-kuna, kawi; sebagaimana bahasa tutur
orang-orang kuna. Kita bisa berpedoman pada aksen Ha Na Ca Ra Ka,,,
buka Ho No Co Ro Ko…
Bahasa Ngapak juga terncam punah karena (mungkin) akan ditinggalkan oleh
warganya. Generasi sekarang (maaf, para kawula muda) nyaris kesulitan
cara menulis bahasa jawa dengan aksara latin. Apalagi dengan huruf jawa
Ha Na Ca Ra Ka… Disamping itu, pihak Pemerintah (Jawa Tengah) belum
memberikan dukungan terhadap kelestarian bahasa Ngapak. Sebagai misal
bahasa pengantar di sekolah-sekolah di kawasan Ngapak (mungkin) tidak
diwajibkan mengunakan bahasa Ngapak, tetapi malahan menggunakan bahasa
bandhek. Nah.
Para sedulur, nuwun sewu, cara nulis basa jawa “sing bener” ya kudu
nurut maring aksara jawa Ha Na Ca R Ka. Aksara jawa langka vokal “O”
anane “A”.
Jajalen panjenengan tindak maring Yogya, aksara jawa neng papan-papan
Nama Jalan, Gedung, mesthi apa anane ora nganggo “taling-tarung.”
Contone : Pasar Beringharjo; nulise ya Beringharja. Kota Solo, jan-jane
asline ya “SALA.” Jajalen sih dibukak nek ana neng musium Pustakaraja
(angger ana).
Menurut sejarahnya, bahasa Jawa Banten mulai dituturkan di zaman
Kesultanan Banten pada abad ke-16. Di zaman itu, bahasa Jawa yang
diucapkan di Banten tiada bedanya dengan bahasa di Cirebon, sedikit
diwarnai dialek Banyumasan. Asal muasal kerajaan Banten memang berasal
laskar gabungan Demak dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir
utara Kerajaan Pajajaran. Namun, bahasa Jawa Banten mulai terlihat
bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan
bahasa Sunda dan Betawi.
Bahasa ini menjadi bahasa utama Kesultanan Banten (tingkatan bebasan)
yang menempati Keraton Surosowan. Bahasa ini juga menjadi bahasa sehari -
harinya warga Banten Lor (Banten Utara).
Bahasa Jawa Banten atau bahasa Jawa dialek Banten ini dituturkan di
bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah
barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga
banyak pengaruh bahasa Sunda dan Betawi.
Bahasa Jawa di Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama) dan standar.
Dalam bahasa Jawa dialek Banten (Jawa Serang), pengucapan huruf 'e', ada
dua versi. ada yang diucapkan 'e' saja, seperti pada kata "teman". Dan
juga ada yang diucapkan 'a', seperti pada kata "Apa". Daerah yang
melafalkan 'a' adalah kecamatan Keragilan, Kibin, Cikande, Kopo,
Pamarayan, dan daerah timurnya. Sedangkan daerah yang melafalkan 'e'
adalah kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Kasemen, Bojonegara, Kramatwatu,
Ciruas, Anyer, dan seberang baratnya.
Contoh :
'kule', dibaca 'kula' atau 'kule'. (artinya, saya)
'ore', dibaca 'ora' atau 'ore'. (artinya, tidak)
'pire', dibaca 'pira' atau 'pire' (artinya, berapa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar